Pacaran ala Tokoh Muhammadiyah

Apabila kita membahas “pacaran”, seyogianya kita buat terlebih dahulu pemahaman/batasan yg sama mengenai istilah “pacaran” tsb. Bagi sebagian orang, masa-masa dipupuknya jalinan kontak komunikasi pribadi (lewat tilpon/sms) ditambah beberapa pertemuan kekeluargaan sebelum menginjak ke perkawinan (tanpa dibumbui kontak fisik), adalah pacaran.

Ya, aku setuju. Definisi pacaran sudah sering aku kemukakan sejak awal, sejak mulai mengangkat tema pacaran dalam Islam. Aku menerima definisi menurut pengertian yang dibakukan di Kamus Besar Bahasa Indonesia, yaitu bercintaan dengan kekasih-tetap. Secara harfiah, “kekasih-tetap” itu bukan hanya dalam pranikah, melainkan juga suami atau istri. Namun kemudian, aku juga menerima definisi “pacaran” menurut makna aslinya (secara etimologis), yaitu “persiapan sebelum menikah“.

Di majalah Suara Muhammadiyah (SM) yang pernah membicarakan pacaran, definisinya pun sudah ada: “berpacaran adalah untuk saling mengenal satu sama lain, agar ketika memasuki gerbang kehidupan rumah tangga dapat menghadapi masalah yang ada bersama-sama”. Definisi teleologis (berfokus pada tujuan) ini tidak bertentangan dengan definisi “baku” atau pun definisi “asli” tersebut di atas.

Sementara mayoritas masyarakat sekarang cenderung memahami “pacaran” sebagai hubungan spesial yg dibumbui dengan jalinan rasa dan kontak fisik yg tingkat acceptance/permisive-nya suka-suka, ada yg bisa menerima hingga level cipika-cipiki dan mencibir; ada yang menerima ci-ci pass foto alias sebatas wajah hingga dada; ada pula yg memandang wajar dan merasa berhak untuk mencoba secara keseluruhan konon kabarnya supaya tidak seperti “membeli kucing dalam karung”.

Mayoritas masyarakat cenderung begitu? Masyarakat yang mana? Jangan-jangan, itu hanyalah mitos keliru yang sering dihembuskan oleh media massa, sehingga seolah-olah merupakan fakta, padahal dusta. Lihat “Ciuman dalam Pacaran: antara fakta dan mitos“.

Kembali pada artikel “Pacaran ala Muhammadiyah“, setelah bola-balik di baca saya sama sekali tidak menemukan tentang batasan “pacaran” secara umum – khususnya menyangkut apa yg dilakukan – maupun model spesifik “pacaran ala Muhamadiyah”, misalnya apakah cukup sekedar kontak/komunikasi verbal melalui sarana komunikasi; atau meningkatkan intensitas silaturahim bersama pihak terkait lain agar terhindar dari fitnah dan godaan pihak ketiga (syetan); atau juga membina kontak fisik dari level terbatas hingga kontak sexual sebagaimana “pacaran” komunitas barat liberal.

Kutipan kalimat “masa-masa pacaran atau saling mengenal memang terasa serba indah” dan “berpacaran adalah untuk saling mengenal satu sama lain, agar ketika memasuki gerbang kehidupan rumah tangga dapat menghadapi masalah yang ada bersama-sama” yg dikutip dari redaksi SM tsb, saya kira sangat bersifat umum dan sama sekali tidak mengindikasikan penerimaan Muhammadiyah terhadap suatu model tertentu dari kegiatan yg disebut “pacaran”.

Muhammadiyah menerima kaidah dari ushul Fiqih yang menyatakan bahwa dalam muamalah (termasuk pacaran), segalanya itu boleh, kecuali yang dilarang oleh nash secara qath’i. Bila kita memahami bahwa Muhammadiyah menerima kaidah tersebut, tentulah kita bisa memahami bahwa kalimat “berpacaran adalah untuk saling mengenal satu sama lain, agar ketika memasuki gerbang kehidupan rumah tangga dapat menghadapi masalah yang ada bersama-sama” yang dikutip dari redaksi SM tersebut mengindikasikan penerimaan Muhammadiyah terhadap berbagai model pacaran yang islami. Begitulah definisi pacaran menurut SM. Definisi itu jugalah yang menunjukkan ciri khas pacaran ala Muhammadiyah.

tokoh-muhammadiyah-249x130Jadi, ciri khasnya adalah pada corak teleologis (berfokus pada tujuan)-nya, bukan pada bentuknya. Secara demikian, meski sama-sama tidak melanggar larangan nash, kita bisa menjumpai bentuk-bentuk pacaran islami yang berlainan di antara tokoh-tokoh Muhammadiyah. Sungguhpun demikian, tujuannya sama, yaitu “siap menikah”.

Wallaahu a’lam.